Tradisi lisan di Nusantara cukup beragam, salah satunya silat, atau pencak silat. Silat merupakan tradisi lisan khas Betawi. Banyak orang menganggap bahwa silat hanyalah persoalan adu fisik, ciat-ciat, gedebag-gedebug, alias main pukul. Padahal tidak. Silat mengajarkan banyak hal kepada kita.
“Silat dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Banyak hal yang dapat diserap sebagai edukasi dari silat, termasuk di dalamnya adalah mengajarkan nilai-nilai multikulturalisme,” demikian penegasan Dr. Gres Grasia Azmin, M.Si., dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta (FBS UNJ), dalam Seminar Nasional bertajuk NGONTRAS#5 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-5), Sabtu (4/12/2021).
Gres Grasia Azmin, dikenal dengan sebutan akrab Ige, yang telah mendalami budaya Betawi, ketika memulai presentasi pun tidak lupa berpantun. Pakai piring makan terasi, habis makan jangan lupa minum. Masuk zoom meeting kudu permisi, saya ucap salam assalamualaikum. Kemudian disambung dengan pantun kedua yang diakuinya dikutip dari pantun palang pintu: Rawamangun rawa kemiri, jalannya panjang banyak bebatuan. Ini hari saya datang kemari, sudah barang tentu ada maksud dan tujuan.
NGONTRAS#5 merupakan webinar rutin bulanan yang diselenggarakan HISKI Komisariat Jember dalam rangka edukasi literasi. Webinar kali ini diselenggarakan kerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (Sind FIB UNEJ), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (FTIK UIN KHAS Jember), dan Kelompok Riset Pemaknaan Sosiologi Sastra (KeRis MAGISTRA). Selain Dr. Gres Grasia Azmin, M.Si., juga diundang Dr. Sukatman, M.Pd., dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (FKIP UNEJ), dengan moderator Isnadi, S.S., M.Pd., anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen di UIN KHAS Jember, dan pewara Dra. Supiastutik, M.Pd., anggota HISKI Komisariat Jember dan dosen FIB UNEJ.
Gres menjelaskan bahwa hikmah multikultur dapat dipelajari dari unsur historis silat yang dikembangkan oleh orang-orang yang berlatar belakang kultur berbeda. Secara historis, asal usul silat Beksi adalah dari guru keturunan Tionghoa, bernama Lie Tjeng Hok (1854-1951), yang bermukim di Kampung Dadap, Tangerang. Versi lain menyebutkan bahwa Lie Tjeng Hok memiliki guru lain dari Cirebon bernama Ki Jidan. Versi lain menyebutkan terkait dengan mitos bahwa silat Beksi diajarkan oleh makhluk lain, yakni siluman macan putih. Hal ini cukup lazim karena asal usul pada beberapa perguruan silat di Indonesia kerap terdapat kisah terkait siluman ataupun binatang seperti singa atau monyet.
Terkait dengan aspek multikultur, Gres menjelaskan bahwa silat Beksi merupakan percampuran dari dua bela diri, yakni dari kultur orang-orang lokal di Betawi, khususnya di Kampung Silat Petukangan, dengan kultur Tionghoa yang dibawa oleh Lie Tjeng Hok, yang berasal dari Kampung Dadap, Tangerang. “Beksi merupakan perpaduan dua kultur berbeda yang harmonis, yakni Betawi dan Tionghoa. Ini menjadi pembelajaran budaya yang menarik, yakni multikulturalisme,” tegas Gres alias Ige Azmin.
Intensitas Gres dalam melakukan riset tentang perguruan silat Beksi, baik untuk keperluan disertasi maupun riset lainnya, membawa perempuan kelahiran Padang ini hingga tak terpisahkan dari budaya khas Betawi tersebut. Untuk itu, kini Gres dipercaya menjadi Dewan Pembina Kampung Silat Petukangan, dan Dewan Pengawas Yayasan Betawi Kita. Selain itu, Gres juga aktif di organisasi profesi Pusake Betawi dan Komunitas Baca Betawi.
Pengalaman akademik yang dijalani Gres terkait tradisi lisan cukup intens dan beragam. Sebelum menjadi dosen di UNJ, dirinya aktif di ATL Pusat, bekerja sambil belajar memperdalam kajian tradisi lisan. Kegiatan akademisnya dalam ranah tradisi lisan telah menghasilkan buku, di antaranya Menelisik Karakterisktik Orang Pulo (2021), Karakteristik Bahasa dan Budaya Betawi (2020, bersama Siti Gomo Attas dan Marwiah), dan Perwajahan dan Tantangan Tradisi Lisan (2020, book chapter bersama M. Rido).
Lebih lanjut, Gres memaparkan bahwa selain pendidikan multikultur, silat merupakan produk budaya yang mengajarkan beragam sisi pendidikan, di antaranya menjadi media pendidikan karakter, pendidikan seni, pendidikan agama, pendidikan jasmani, dan pendidikan sejarah atau kepahlawanan. Di sisi lain, silat mencakup empat unsur, yakni bela diri, olah raga, mental spiritual, dan budaya. “Unsur budaya ini merupakan pelajaran penting, karena menjadi identitas kultural Betawi,” kata Gres.
Gres juga menjelaskan bahwa banyak aliran silat di Betawi, bahkan ada ratusan aliran. Di antara ratusan aliran tersebut, ada aliran perguruan silat Beksi, Cingkrik, Mustika Kwitang, Pusaka Djakarta, Troktok, dan Sabeni Tenabang. Gres sendiri tidak mendalami semua aliran tersebut, tetapi hanya fokus pada perguruan silat aliran Beksi.
Dijelaskannya bahwa secara umum berbagai aliran perguruan silat di Betawi hampir sama, tetapi masing-masing memiliki konsentrasi atau penekanan yang agak berbeda. Jurus-jurus pada silat Beksi, setidaknya ada 12 jurus dasar, terkenal dengan pukulan dan tendangan yang keras, cepat, dan tepat pada sasaran. Dijelaskannya bahwa gerakan silat Beksi cenderung menghentakkan kaki ke lantai dengan gerakan tangan yang sangat cepat. Selain itu, juga diajarkan penggunaan senjata golok dan bambu.
Kata Beksi sendiri, menurut penjelasan Gres, singkatan dari Berbaktilah Engkau Kepada Sesama Insan. Meskipun demikian, Gres juga menekankan bahwa tradisi lisan sering muncul versi atau varian, sesuai memori kolektif masyarakaat dan individu. Oleh karena itu, ada versi lain, yakni Beksi dari kata Bhe Si, dari bahasa Hokiian, berarti ‘kuda-kuda’. Atau Beksi gabungan dari kata Bek (‘pertahanan’) dan Si (‘empat’), sehingga diartikan sebagai pertahanan dari empat penjuru. Versi lain menyebutkan singkatan dari Berbaktilah Engkau Kepada Seruan Illahi. “Tradisi lisan memang tidak terhindar dari versi atau varian, karena tidak lepas dari memori kolektif dan memori individu,” jelas Gres.
Dalam menjawab pertanyaan audiens, Gres juga menjelaskan bahwa silat memiliki peran sosial. Pada masa kolonial, peserta perguruan silat tidak bebas berlatih, cenderung bersembunyi, karena khawatir dicurigai sebagai pemberontak. Pada zaman sekarang, perguruan silat menyatu dengan tempat-tempat ibadah orang Islam, sehingga peran sosial perguruan silat menyatu dengan peran sosial keagamaan di lingkungan masjid. Selain itu, mereka juga memiliki kegiatan rutin, yakni napak tilas, suatu bentuk penghormatan kepada para guru silat.
Atas pertanyaan audiens terkait sisi kelisanan silat, Gres juga menjelaskan bahwa cukup banyak data kelisanan dari silat yang bisa digali dan dianalisis. Salah satu data utama yang mencerminkan kelisanan adalah tuturan yang menyertai kegiatan perguruan silat Beksi. Selain itu, juga nama-nama jurus dan asal-usul nama tersebut, bisa dikulik sebagai bagian yang menarik untuk dikaji. Dari jurus yang terdapat di perguruan silat Beksi Tradisional H. Hasbullah misalnya, ada yang penamaan jurus atas dasar mimpi, dan ada pula yang atas dasar kesesuaian bentuk gerakan. Di sisi lain, konsep yang menjadi acuan sekaligus arah kajian, juga beragam. Dalam kajian tradisi lisan, perguruan silat Beksi dapat dikaji dengan menggunakan konsep pewarisan, pemertahanan, dokumentasi, revitalisasi, perlindungan, manajemen, kearifan lokal, formula, struktural, transformasi, intertekstualitas, bahkan dapat dikaji untuk menjadi dasar kebijakan oleh pemerintah. “Jadi, sangat banyak yang bisa dikaji dari silat Beksi. Orientasi paling ujung adalah rekomendasi untuk dijadikan dasar kebijakan bagi pemerintah, guna pelestarian dan pengembangan silat,” tegas Gres.
Dalam mengakhiri diskusi, Gres menekankan bahwa silat telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) di Bogota pada tahun 2019. Pada 12 Desember 2021, penetapan tersebut telah genap berusia dua tahun. Hal tersebut merupakan kebanggan bagi Indonesia, karena produk budayanya telah diakui dunia internasional. Namun, di balik kebanggaan tersebut, Gres menyentil kita semua. “Dengan diakui oleh UNESCO, apa yang telah kita perbuat untuk silat?” tanya Gres sedikit sinis.
Ketika dihubungi menjelang acara, Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum., ketua HISKI Komisariat Jember, menjelaskan bahwa tradisi lisan tidak perlu lagi dipandang dengan sebelah mata, karena banyak mengajarkan nilai-nilai budaya, termasuk dalam konteks perkembangan media. Heru juga berpesan, untuk mendapat informasi yang lengkap, audiens dapat berkunjung ke situs HISKI Jember dengan klik http://hiskijember.fib.unej.ac.id/, atau menyaksikan rekaman NGONTRAS melalui Kanal Youtube HISKI JEMBER OFFICIAL dengan klik https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.
Acara NGONTRAS#5 dihadiri sekitar 350-an peserta, berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penutupan dilakukan oleh pewara dengan pantun: Hikmah mengaji bersama Opa, dapat doku dapat pahala. Berbagi ilmu telah dibuka, HISKI Jember terus berkarya.*