Prof. Sofyan: Pantang Larang sebagai Wujud Nilai Budaya dan Agama

Pantang larang dalam masyarakat atau kelompok etnik Madura merupakan wujud nilai budaya dan agama. Sanksi yang muncul dalam pantang larang dapat menjadi sarana edukasi dalam konteks budaya lokal dan agama Islam. Sebagian pantang larang masih eksis hingga kini, sedangkan sebagian lainnya mulai ditinggalkan. Semakin rasional suatu pantang larang, semakin tidak dipercayai atau semakin dibantah oleh generasi muda.

Demikian rangkuman paparan dan diskusi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Akhmad Sofyan, M.Hum. dari FIB Universitas Jember (sofyanakhmad544@gmail.com), dalam Webinar Nasional dengan tema “Pantang Larang dalam Masyarakat Etnik”. Pembicara lain yang telah memaparkan sebelumnya adalah Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. dari FIB Universitas Gadjah Mada (putu.wijana@ugm.ac.id), yang juga menyoal tema serupa dalam webinar yang diselenggaranan HISKI Jember, Sabtu (29/10/2022).

Webinar secara daring tersebut diselenggarakan kerja sama Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal Semiotika, dan Kelompok Riset OKARA: Bahasa dan Sastra Madura (KeRis OKARA), bertajuk NGONTRAS#15 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-15).

Webinar dibuka secara resmi oleh Ketua Jurusan Sastra Indonesia FIB UNEJ, Dr. Agustina Dewi Setyari, S.S., M.Hum., dengan moderator Dr. Ali Badrudin, S.S., M.A., anggota HISKI Jember sekaligus dosen FIB UNEJ, sedangkan pewara Muhammad Rizqi Hasan, mahasiswa Sastra Indonesia FIB UNEJ.

Dalam memulai acara, pewara mengawalinya dengan pantun: Apalah arti banyak ilmunya, jika laku semakin buas. Selamat bergabung para peserta, kita diskusi di NGONTRAS#15. Dilanjutkan dengan: Marilah jaga perilaku kita, mumpung jarum masih berdetik. Hari ini kita kan bicara, pantang larang dalam masyarakat etnik.

Akhmad Sofyan, sebagai pembicara kedua, dalam paparannya yang berjudul “Bittowa dalam Masyarakat Etnik Madura” menekankan bahwa pantang larang berkaitan erat dengan budaya dan agama. Dijelaskannya bahwa dalam kaitannya dengan budaya, pantang larang mengajarkan nilai kebaikan dan etika yang ada dalam masyarakat etnik. Kemudian Sofyan mencontohkan dalam budaya Madura.

Disebutkan bahwa dalam konteks budaya Madura, seorang laki-laki tidak boleh bertamu ke rumah orang yang suaminya tidak sedang di rumah. Seorang istri sebagai tuan rumah, jelas Sofyan, hanya boleh menemui tamu lelaki di halaman rumah, tidak boleh di dalam rumah. Hal itu merupakan pantangan. Ditekankan oleh Sofyan bahwa hal itu berkaitan dengan budaya, yakni untuk menjaga marwah seorang perempuan. Kalau tidak mengikuti tradisi atau konvensi tersebut, dianggap melanggar etika.

Hal ini merupakan bentuk pantangan. Hingga kini masih dipatuhi. “Jika dilanggar, dipercayai akan muncul musibah. Misalnya si suami akan cemburu, sehingga berdampak tidak baik dalam keluarga. Jadi, pantang larang merupakan bagian dari budaya, sebagai wujud nilai budaya lokal,” jelas Sofyan, yang juga telah menulis Kamus Dwibahasa Indonesia-Madura.

Lebih lanjut, lelaki kelahiran Sumenep, 16 Mei 1968 tersebut menjelaskan bahwa pantang larang juga menjadi cerminan nilai-nilai agama, khususnya Islam yang dianut oleh mayoritas orang Madura. Pantang larang dimanfaatkan oleh orang Madura sebagai media untuk mendidik nilai-nilai agama, meskipun dilakukan secara implisit. “Pantang larang juga digunakan untuk menyampaikan pendidikan agama,” kata Sofyan.

Terkait sebagai media pendidikan agama, Sofyan mencontohkan pantang larang dalam bahasa Madura. “Mon tèdhung jhâ’ sampè’ èdhullui arè, èkajhâu rajekkè. Artinya, kalau tidur jangan sampai terdahului matahari, maksudnya bangunnya, karena dapat jauh rejeki,” kata Sofyan, yang menjabat sebagai Dekan FIB UNEJ periode 2016-2020.

Dalam konteks pantang larang tersebut, Sofyan menjelaskan bahwa pernyataan yang eksplisit adalah jauh dari rejeki atau tidak mendapatkan rejeki jika bangun kesiangan. Dalam konteks agama, pesan yang tersembunyi bahwa bangun kesiangan berarti tidak dapat melaksanakan salat subuh tepat waktu. Jadi, pesan tersembunyi yang bisa digali seperti itu. Selain itu, dalam budaya Madura, pagi hari itu untuk kerja, bukan untuk tidur,” kata Sofyan.

Kemudian Sofyan menyebutkan contoh lain yang menunjukkan nilai-nilai agama dalam pantang larang. “Jhâ’ tèdungan è sorop arè, èkaghâmpang ècapo’ panyakè’. Artinya, jangan tidur waktu matahari terbenam, menyebabkan mudah terserang penyakit. Secara implisit hal ini dapat dimaknai sebagai pesan agar kita tidak terlewatkan untuk salat magrib.

Pada bagian lain, Sofyan juga menjelaskan bahwa dalam masyarakat Madura, ada kaitan antara larangan dan sanksi. Biasanya sanksinya terkait dengan hal-hal yang ditakuti. Disebutkannya bahwa biasanya yang ditakuti anak-anak adalah ditinggal ibunya. Kalau remaja putri, yang ditakuti adalah tidak laku menikah, karena dianggap sangat memalukan.

Selain itu, juga disebutkan bahwa yang ditakuti remaja putri juga terkait tubuh gemuk. Misalnya larangan untuk makan pisang yang terletak di bagian pinggir dalam sesisir, yang biasanya lebih besar daripada yang lain. Larangan yang lain adalah makan sambil berdiri, karena akan berakibat betis menjadi besar. Padahal standar estetika perempuan Madura adalah betisnya kecil. Dengan demikian, betis besar bagi perempuan Madura dianggap kurang baik. Agar betis mereka tetap kecil dan langsing maka mereka takut untuk makan sambil berdiri. “Perempuan Madura dengan betis besar dipercaya sulit untuk mendapatkan jodoh,” kata Sofyan, yang juga menjadi editor pada Semiotika: Jurmal Ilmu Sastra dan Linguistik.

Sementara itu, bagi laki-laki Madura, ancamannya adalah tidak punya uang dan banyak utang. Wajah tampan tidak terlalu penting bagi laki-laki, karena yang lebih utama adalah banyak uang. “Jadi, persoalan tidak punya uang dan banyak utang merupakan persoalan yang paling ditakuti laki-laki Madura,” jelas Sofyan.

Kemudian Sofyan juga menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat Madura kini, petuah-petuah tidak lagi disampaikan dalam bentuk pantang larang yang menyebutkan sanksinya. Petuah lebih disampaikan dalam bentuk nasihat-nasihat biasa. “Karena, semakin disampaikan secara lengkap dengan sanksinya, maka akan semakin dibantah dan dijadikan bahan candaan,” kata Sofyan.

Pada bagian sebelumnya, Sofyan menjelaskan bahwa sebutan yang lebih dikenal dibanding pantang larang dalam konteks bahasa dan budaya Madura adalah bittowa. Ada tiga jenis bittowa, yakni gher-ogher (‘pedoman’), pantangan (larangan untuk dilakukan), dan bâbâlân (nasihat yang berupa larangan).

Dalam tradisi Madura, bittowa menggunakan bahasa Madura ragam enjâ’-iyâ atau ta’ abhâsa ‘tidak (ber)basa’, atau bahasa ngoko. Pernyataan dalam bittowa disampaikan secara langsung dan tidak menggunakan kiasan atau perumpamaan. Sementara itu, terkait sanksi, Sofyan mengungkapkan bahwa untuk gher-ogher, sanksi berupa kebaikan, yakni ollè salamet ‘agar selamat’. Pada pantangan, sanksi dapat berupa ancaman musibah/malapetaka. Pada babalân atau larangan, bentuk sanksi ada yang bersifat umum, ada yang khusus untuk anak-anak, remaja putri, dan remaja laki-laki.

Lebih lanjut, Sofyan mengungkapkan fungsi bittowa. Disebutkannya bahwa fungsi bittowa di antaranya menyampaikan pendidikan agama, menanamkan rasa kasih sayang, menyampaikan pendidikan budi pekerti, nasihat untuk kehidupan, nasihat untuk selalu mengasihi orang tua, dan upaya mendapatkan keselamatan diri dan keluarga.

Terkait keselamatan keluarga, Sofyan mencontohkan dalam bahasa Madura. “Mon andi’ ana’ dâduwâ’ lalakè’ bân bâbinè’ kodhu èrokat. Maksudnya, jika mempunyai anak dua laki-laki dan perempuan, harus diruwat,” kata Sofyan, yang juga telah menulis buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan.

Sofyan juga mengungkapkan bahwa eksistensi bittowa relatif beragam, dalam arti sebagian masih dianut dan diikuti oleh masyarakat Madura, tetapi sebagian yang lain telah ditinggalkan. Eksistensi gher-ogher ada yang masih sering dilaksanakan, misalnya salameddhân atau ritual selametan. Gher-ogher yang sudah ditinggalkan di antaranya ruwatan atau rokat. Eksistensi pantangan yang masih dipatuhi, antara lain yang terkait dengan ritual permikahan dan pindah rumah, sedangkan yang sering ditinggalkan adalah yang terkait dengan persoalan tempat tinggal dan sikap keseharian.

Eksistensi bâbâlân masih dipercayai dan dilaksanakan, khususnya yang sanksinya berhubungan dengan keselamatan. Banyak pula bâbâlân yang sudah tidak eksis bahkan dibantah dan dijadikan candaan. Hal seperti ini sangat banyak, terutama yang sanksinya tidak berhubungan keselamatan.

“Ada bâbâlân yang kurang dipercayai tetapi tidak pernah dibantah, yaitu bâbâlân yang sanksinya èkamatè embu’ atau kematian ibu,” jelas Sofyan, yang artikel terbarunya bersama tim dipublikasikan di jurnal internasional, berjudul “The Existence and Management of Islamic Boarding Schools (Comparative Study of Assunniyyah Islamic Boarding School and Baitul Arqom Islamic Boarding School Jember, East Java, Indonesia).”

Kemudian Sofyan memberi penekanan, temuan dalam penelitiannya menunjukkan bahwa semakin rasional suatu pantang larang akan semakin tidak dipercayai atau semakin dibantah. Disebutkan bahwa generasi muda biasanya mempunyai rasionalisasi sendiri. Hal tersebut berbeda dengan yang tidak rasional. “Misalnya tidak boleh menikah di bulan Suro. Maka ini justru dipercayai. Oleh karena itu, semakin dapat dijelaskan secara rasional, maka semakin tidak dilaksanakan, atau semakin tidak dipercayai. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat lokal,” jelas Sofyan.

Acara NGONTRAS#15 yang diikuti 270-an peserta, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penutupan dilakukan oleh pewara dengan pantun: Ucap leluhur musti dipatuhi, demi menjaga keselamatan diri. Sungguh sangat sayang sekali, diskusi kita berakhir di sini. Dilanjutkan dengan: Hidup akan berakhir naas, kalau laku terus tak pantas. Jika Anda masih belum puas, kita kan bertemu di NGONTRAS#16.

Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.***

Written by