Dr. Sudibyo: Pelajaran Berharga di Balik Kajian Poskolonial

Banyak pelajaran berharga ketika kita berkhidmat dalam kajian poskolonial, sebuah disiplin yang menyoal wacana penjajah dan terjajah. Paradigma poskolonial bukan untuk melanggengkan praktik penjajahan. Justru sebaliknya, kita dapat mengambil hikmah untuk tidak terjebak pada kondisi yang sama dengan masa lalu, kondisi yang membuat bangsa lain leluasa mempraktikkan kolonialisme di negeri ini.

Demikian benang merah paparan yang disampaikan oleh Dr. Sudibyo, M.Hum., dosen FIB UGM, dalam Webinar Nasional dengan tema “Sastra Poskolonial”. Pembicara lain adalah Abu Bakar Ramadhan Muhamad, S.S., M.A., dosen FIB UNEJ, yang juga menyoal tema serupa dalam webinar yang diselenggaranan HISKI Jember, Sabtu (24/9/2022).

Webinar secara daring tersebut diselenggarakan kerja sama HISKI Jember dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP UMJ), Jurnal Semiotika, dan Kelompok Riset Sastra Humaniora (KeRis SASHUM).

Webinar dibuka secara resmi oleh Koordinator Prodi PBSI FKIP Universitas Muhamadiyah Jember, Agus Milu Susetyo, S.Pd., M.Pd., dengan moderator Nurul Ludfia Rochmah, S.Pd., M.Pd., anggota HISKI Jember sekaligus guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Banyuwangi, dan pewara Muhammad Rizqi Hasan, mahasiswa Sastra Indonesia FIB UNEJ. Dalam memandu webinar, Nurul mengawalinya dengan pantun: Makan di piring menghadap utara, isi tandas tanpa berbekas. Hadirin zoom meeting yang berbahagia, kita sambut NGONTRAS ke empat belas.

Sudibyo, dalam paparannya menegaskan bahwa kita tidak boleh terjebak dalam lubang yang sama dan melakukan kesalahan untuk kesekian kali dalam persoalan kolonialisme. Dengan mengutip pandangan George Santayana, Sudibyo menekankan bahwa agar tidak terjebak untuk yang ke sekian kali dengan fenomena penjajahan, maka kita harus mampu mempelajari apa yang diperlakukan bangsa lain terhadap kita pada masa lampau. “Itu sebagai pelajaran yang sangat berharga. Hikmah di balik pemahaman kita terhadap kajian poskolonial,” tegas Sudibyo, yang juga menjadi Ketua Departemen Bahasa dan Sastra FIB UGM.

Terkait pandangan yang miring terhadap kajian poskolonial, yang oleh sebagian orang justru dipersepsi sebagai langkah melanggengkan wacana kolonial, lelaki kelahiran Purworejo tersebut tidak menyetujuinya. Menurutnya, persoalan tersebut bergantung pada diri kita sendiri. Apakah kita mensyukuri wacana kolonialisme? “Saya kira tidak,” jawab Sudibyo.

Kemudian Sudibyo menjelaskan bahwa dengan pemahaman tentang fenomena poskolonialisme, justru harus berjuang karena kita paham terhadap masa lalu dengan kolonialisme tersebut. Agar kita tidak terjebak untuk yang ke sekian kali, atau terus-menerus, terjebak dalam hal yang sama, yakni kolonialisme. “Kalau kita mau untuk mengoreksi diri, maka kita akan menjadi bangsa yang tangguh, karena punya pengalaman yang cukup,” tandas Sudibyo, yang juga menjadi Ketua Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) Cabang Yogyakarta

Dalam mengomentari pandangan dari audiens, Sudibyo menjelaskan bahwa tidak mudah untuk mendapati suatu budaya yang benar-benar otentik. Terkait keinginan tentang budaya Indonesia yang bebas dari kolonialisme, Sudibyo berpandangan bahwa pertemuan budaya selalu terjadi dan tidak ada budaya yang benar-benar baru di bawah langit ini. Jadi, untuk benar-benar menghilangkan jejak atau hasil-hasil pertemuan dari kolonial, rasanya tidak mudah. “Saya tidak yakin ada budaya yang benar-benar asli atau otentik, tanpa ada pengaruh dari yang kita terima sebelumnya,” kata Sudibyo.

Sudibyo juga mengungkapkan bahwa persoalan diskriminasi dan perlakuan semena-mena, sebenarnya tidak semuanya berasal dari era kolonialisme. Disebutkannya bahwa sejarah leluhur kita juga kaya dengan diskriminasi. Kemudian dicontohkan bahwa pemilahan brang kulon dan brang wetan, juga merupakan embrio diskriminasi. “Potensi seperti itu kemudian dimanfaatkan oleh kolonial Belanda, dengan dibuat menjadi sistematis, sehingga masyarakat tidak merasa bahwa hal itu sebenarnya menjadi bagian dari kehidupannya juga,” kata Sudibyo, yang buku terbarunya berjudul Batik Pakualaman: Tradisi, Sastra, dan Wastra (bersama S.R. Saktimulya, 2022).

Dijelaskan juga, terdapat pandangan bahwa orang-orang yang mempertahankan adat dianggap sebagai sesuatu yang tertinggal. Padahal itu merupakan konservasi dan preservasi terhadap heritage. Tetapi kita sudah terlanjur dengan pemikiran yang seperti itu, sehingga budayawan yang seharusnya peka terhadap keadaan pun, tidak sabar untuk melihat perubahan yang terjadi pada masyarakat tradisional, seperti Baduy.

Menanggapi lontaran audiens tentang persoalan diaspora, Sudibyo menjelaskan bahwa kelompok diaspora apa pun, di mana pun, dan kapan pun, serta dalam kondisi apa pun, pasti pernah mengalami kompleks seperti bahasa, sejarah, nasionalisme, politik tubuh, ruang/tempat, atau hibriditas dalam rangka kolonialisme. Dikatakannya bahwa ketika seseorang datang ke suatu negeri, tentu tidak selalu karena trauma di negerinya sendiri. Bisa saja dengan tujuan belajar, bekerja, dan lainnya. Hal ini merupakan persoalan yang berbeda.

Dijelaskannya bahwa kita harus melihat konteks negara yang dikunjungi dengan negara tempat dia bermukim, atau negeri asal dan negeri tujuan. Kalau tidak ada relasi kolonialisme, maka bebas saja. Namun, kalau ada relasi kolonialisme, tentu berbeda. “Tentu akan merasakan kompleks dalam rangka kolonialisme,” kata Sudibyo.

Kemudian Sudibyo mencontohkan pengalamannya, ketika lama tinggal di Jepang, dalam rangka mengajar atau menjadi dosen tamu di Tokyo. Ada perasaan rindu pada negeri kita sendiri. Meskipun kadang nasib di negeri tujuan tersebut lebih bagus. TKI yang berangkat ke luar negeri itu juga diaspora. “Jadi, perlu dilihat relasi antara negeri asal dan negeri tujuan. Kalau tidak ada, relatif aman. Namun, tetap saja ada bias tentang Timur dalam memandang Barat,” tegas Sudibyo, yang riset terbarunya berjudul “Memori Kolektif dan Trauma akan Kompeni dalam Karya Sastra Poskolonial Indonesia.”

Relasi Indonesia dengan Timor Timur (kini bernama Timor Leste), juga menarik dalam konteks studi poskolonial, sehingga audiens mempertanyakannya. Tentang relasi tersebut, menurut Sudibyo, bahwa kita memandang pendudukan Indonesia atas Timor Leste itu karena faktor integrasi. Itu yang kita terima pada waktu itu. Bahwa ada partai atau kelompok tertentu yang ingin bergabung dengan Indonesia. “Kalau kita melihat dengan teori-teori umum tentang kemanusiaan, hal tersebut menunjukkan kolonialisme,” kata Sudibyo.

Kemudian Sudibyo menjelaskan bahwa ketika ada orang Timor Leste menulis novel yang berkisah tentang Indonesia, atau sebaliknya, orang Indonesia yang menulis novel berkisah tentang Timor Leste, maka novel tersebut dapat dikaji dengan pendekatan poskolonial. Apalagi novel tersebut terkait dengan pendudukan Indonesia atas Timor Leste. “Jadi, novel semacam itu dapat dikaji dengan pendekatan poskolonial,” jelas Sudibyo.

Dalam menanggapi fenomena novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, Sudibyo mengatakan bahwa novel ini menarik. Disebutkannya, dulu dengan paradigma tertentu, orang selalu mengatakan Datuk Maringgih adalah tokoh yang jahat. Karena dirinya yang sudah tua, kemudian mencoba mengambil Sitti Nurbaya sebagai istri. Dari satu sisi begitu.

Tetapi, lanjut Sudibyo, kalau dilihat dari kacamata atau paradigma yang lain, paradigma poskolonialisme misalnya, maka dapat dilihat bahwa yang dilakukan oleh Datuk Maringgih adalah sebuah perjuangan, karena dia menolak pemberlakuan belasting atau pajak. Kemudian dia menggerakkan masyarakat untuk melakukan perlawanan. “Dari sisi ini, dia dapat dianggap sebagai pahlawan,” tegas Sudibyo.

Kemudian Sudibyo melanjutkan, bahwa telah terlanjur adanya stigma terhadap Datuk Maringgih, terutama dalam buku-buku teks sekolah. Namun, untuk mengubah pandangan seperti ini, perlu proses juga. Bahwa hal-hal yang dilakukan oleh Datuk Maringgih adalah perjuangan menolak kolonialisme. Hal ini bisa diwacanakan ulang, tetapi perlu ketelatenan. Agar gambaran ini secara pelan-pelan dapat dipahami secara lebih utuh.

“Namun, karena itu novel terbitan Balai Pustaka, dan ketika ada ide yang bertentangan dengan Balai Pustaka mengenai kehidupan yang baik, pasti akan dianggap sebagai sebuah kekacauan. Hal itu salah satu korbannya adalah Datuk Maringgih. Sementara, Syamsul Bahri dapat dipertanyakan ulang karena dia berjuang di pihak Belanda,” tandas Sudibyo, yang pernah menulis artikel berjudul “The Position of Low Malay Short Stories in the History of Indonesian Literature” (bersama Pujiharto).

Dalam paparan awal sebelum sesi diskusi, Sudibyo menjelaskan bahwa secara historis, poskolonialisme berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah ditundukkan oleh imperialisme Eropa. Pendekatan poskolonial memberi tekanan pada aspek-aspek kebudayaan terjajah yang menolak hegemoni imperial. “Kajian poskolonial mencakup bahasa, sejarah, nasionalisme, politik tubuh, ruang atau tempat, dan hibriditas,” tandas Sudibyo.

Kemudian Sudibyo mencontohkan hasil kajiannya terhadap novel-novel yang memuat dimensi poskolonialisme, yakni novel Kuli dan novel Berpacu Nasib di Kebun Karet, keduanya karya Madelon Szekely-Lulofs. Juga novel Rubber karya Jeyamohan dan novel Oeroeg karya Hella Haasse. Novel Kuli mengungkapkan kesewenang-wenangan kolonial terhadap bangsa Bumi Putra, dengan politik tubuh. Novel Berpacu mengungkapkan dimensi poskolonial dengan memetakan ruang kosong. Novel Rubber menyoal sisi poskolonial dengan mengungkapkan persoalan salah tempat. Sementara itu, novel Oeroeg mengungkapkan dimensi hibriditas. “Novel-novel tersebut menunjukkan fenomena poskolonialisme,” jelas Sudibyo

Webinar NGONTRAS#14 diikuti 320-an peserta hingga acara berakhir. Ketika menutup sesi diskusi, moderator kembali membacakan pantun: Pergi ke Papua menyantap papeda, segelas kopi sekejap tandas. Selesailah sudah rangkaian acara, NGONTRAS HISKI Jember ke empat belas.

Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.***

Written by