Spiritualitas itu berada pada ranah pos-agama, setelah agama, di atas agama. Ranah ini bukan lagi pada tataran syariat, melainkan pada hakikat. Spiritualitas berbeda dari religiositas. Tetapi spiritualitas dapat dicapai melalui jalan religiositas, jalan agama. Meskipun berada pada wilayah pos-agama, tidak boleh dipertentangkan antara syariat dan hakikat. Dalam religiositas Islam, spiritualitas dapat dicapai melalui laku sufi, dengan zuhud dan menapaki dari tataran lillah, billah, hingga fillah. Puisi-puisi spiritual hanya dapat ditulis oleh penyair yang menjalani laku sufi atau menemukan momentum sufistik.
Demikian rangkuman paparan pakar dari Universitas Jember (UNEJ), Dr. Akhmad Taufiq, M.Pd., dalam Webinar NGONTRAS#13 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-13), dengan tema “Spiritualitas dalam Puisi” yang diselenggarakan oleh Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember), Sabtu (27/8/2022).
Acara rutin bulanan tersebut dilaksanakan atas kerja sama HISKI Jember dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univesitas Jember (FKIP UNEJ), Jurnal Semiotika, Kelompok Riset Sastra, Tradisi Lisan, dan Industri Kreatif (KeRis SasTraLis-Inkrea), dan Kelompok Riset Pertelaahan Sastra Konteks Budaya (KeRis PERSADA).
Pembicara lain yang diundang adalah Dr. Aprinus Salam, M.Hum., dosen FIB Universitas Gadjah Mada. Webinar dipandu oleh moderator Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum., anggota HISKI Jember sekaligus dosen FIB UNEJ, dengan pewara Muhammad Rizqi Hasan, mahasiswa Sastra Indonesia FIB UNEJ. Ketika memandu acara, moderator mengawali dengan pantun. Hamparan bunga sepanjang jalan, terbayang pula bagaimana wanginya. Jika Anda mengaku sastrawan, yuk kita ikuti diskusinya.
Akhmad Taufiq dalam paparannya menandaskan bahwa spiritualitas merupakan wilayah yang bukan lagi berada pada tataran syariat, tetapi hakikat. Wilayah tersebut masuk pada level pos-agama. Ditekankannya bahwa spiritualitas adalah wilayah pos-agama. Kemudian Taufiq berpesan bahwa kita tidak boleh mempertentangkan yang syariat atau aturan-aturan lain yang formalistik dengan yang hakikat.
Diilustrasikannya secara simbolik, bahwa untuk mendapatkan mutiara di tengah lautan, diperlukan perahu untuk menjangkaunya. Hal ini simbolis. Jadi, perahu itu menjadi alat, menjadi syariatnya, sedangkan mutiara itu hakikatnya. “Oleh karena itu, untuk mendapatkan mutiara, harus menggunakan alat. Untuk menjangkau hakikat, perlu menggunakan syariat,” jelas Taufiq, Wakil Ketua PCNU Jember, sekaligus Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan.
Kemudian Taufiq menyebut beberapa penyair atau tokoh spiritual, di antaranya dari Persia ada Ibnu Arabi, Mansur al-Hallaj, dari Indonesia ada Hamzah Fansuri, dari Jawa ada Syeh Siti Jenah, Ki Ageng Pengging, dari Malaysia ada Kemala. Menurutnya, jika dirunut, pemikiran dan laku para tokoh tersebut bersumber dari Persia kemudian ke Indonesia melalui Aceh, selanjutnya menyebar di berbagai wilayah Nusantara.
Dijelaskannya bahwa konsep yang mereka anut adalah wahdatul wujud, atau manunggaling kawula-Gusti. “Ini sudah masuk tataran fillah. Dalam konsep ini, diri tidak ada, yang ada adalah Allah, karena diri berada di dalam Allah. Ini sudah masuk level fillah,” tegas Taufiq, yang puisinya dimuat dalam Risalah Melayu Nun Serumpun (antologi puisi bersama penyair Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand, NUMERA Malaysia, 2014) dan Puisi-Puisi Merdeka: Dandani Luka-luka Tanah Air (Numera Malaysia, 2020).
Disebutkannya, jika spiritualitas itu ingin diraih, maka penyair sufi harus menjalani laku sufi. Menurutnya, ciri sufi yang paling nyata dan dapat diamati adalah zuhud. Zuhud itu hakiki, meninggalkan keduniawian. “Zuhud itu memang dalam dirinya dapat menetralisasi yang duniawi. Meskipun tidak menolak yang material, tetapi dapat menetralisasi yang material,” kata Taufiq, yang telah menerbitkan buku terbaru berjudul Drama Tradisional Ludruk (2022).
Taufiq juga menjelaskan bahwa selain laku sufi, ada momen-momen sufistik. Seseorang yang tidak menjalani laku sufi, dapat menemukan momen-momen sufistik, yakni merasa sangat dekat dengan Tuhan. Apa pun agamanya. Menurutnya, momen tersebut adalah kondisi paling ikhlas dalam diri seseorang, tiba-tiba merasakan keagungan Tuhan. “Momen sufistik itu sebenarnya bisa dialami oleh siapa saja, termasuk penyair. Ketika penyair mengalami momen sufistik, maka hal itu diekspresikan dalam puisi. Momen sufistik itu adalah momen Illahiah,” jelas Taufiq.
Dijelaskannya bahwa jalan spiritualitas melalui agama dapat dilalui dengan tiga tahapan, yakni lillah (karena Allah), billah (dengan Allah), dan fillah (di dalam Allah). Ini menunjukkan hakikat Tuhan. Kalau pada tataran fillah, maka manusia tidak ada, yang ada Tuhan. Kalau dia masih mengatakan ada, maka dia takabur. “Apakah kita bisa nyampek di situ?” tanya Taufiq kepada audiens.
Jika belum, lanjutnya, kita turunkan menjadi billah. Mampukah semua pekerjaan kita lakukan bersama Allah? Kalau kadang-kadang masih lupa, atau maksiat, atau tidak mengucap Bismillah bagi muslim, maka kita belum dapat bersama Allah. “Kemudian kita turunkan lagi menjadi lillah, atau populernya lillahita’ala, karena Allah. Itu pun berat,” tandas Taufiq.
Menurut Taufiq, dalam ranah politik untuk mendapatkan jabatan, karena ini dan itu, bukan karena Allah, maka kita belum dapat melaksanakan lillah. Akhirnya banyak aspek yang mengonstruksi, melabeli, mematerialisasi. Hal itu yang akhirnya menjauhkan antara kita dengan Allah tadi. “Lillah saja tidak sampai. Ini memang berat,” tegas Taufiq.
Dijelaskan bahwa jalan untuk sampai pada fillah itu sangat panjang. Kemudian Taufiq menceritakan pengalaman Abdul Hadi WM. Disebutkan bahwa Abdu Hadi pernah menggambarkan dalam puisinya tentang perjalanan burung Phoenix menuju Tuhan. Ini menyimbolkan perjalanan spiritual. Burung tersebut kemudian terbakar tubuhnya hingga hangus. Burung Phoenix dalam hal ini menjadi simbol korupnya manusia ketika hendak mendekati Tuhan. “Bulu dan kulitnya terbakar hingga hangus. Gosong semua. Jadi, jalan begitu panjang dan susah untuk sampai ke Tuhan,” papar Taufiq.
Kemudian ditekankan, kalau seseorang sudah sampai tataran fillah, maka pada hakikatnya, dirinya tidak ada. Ketika mendapat hinaan, provokasi, cacimaki, maka tidak ada masalah, karena pada prinsipnya, dirinya tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan. “Oleh karena itu, puisi-puisi spiritual itu memang ditulis oleh orang-orang yang mengikuti jalan sufistik. Tidak lagi butuh duniawi,” tandas Taufiq.
Selanjutnya, Taufiq memaparkan secara makro, bahwa tradisi besar dalam proses puitika Nusantara menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa di Nusantara merupakan nenek moyang bangsa yang bersifat religius. Oleh karena itu, spiritualitas senantiasa diandaikan menyangkut hubungan dirinya dengan yang dinisbatkan sebagai Tuhan. Dalam konteks spiritualitas Islam, maka itu menyangkut hubungan manusia sebagai hamba dengan Tuhannya. Satu perwujudan atas pengakuan manusia sebagai makhluk atas Allah sebagai sang Khaliq, ditunjukkan dengan bagaimana manusia itu senantiasa menyebutnya dalam semua pekerjaan yang akan dan sedang dilakukannya.
Dalam penjelasannya, Taufiq juga mengutip puisi yang dinilainya mengarah ke dimensi spiritualitas. Di antaranya puisi “Bismillahirrahmaanirrohim” karya M. Aris Hj. Hamzah (Singapura), “Manusia Demi Manusia” karya Suratman Markasan (Singapura), dan “99 Warna Cinta” karya Iberamsyah Barbary (Banjar, Kalimantan Selatan). Dijelaskan bahwa dalam puisi-puisi tersebut, hakikat spiritualitas adalah ketika manusia mampu menyandarkan dirinya setinggi-tingginya kepada Allah atau Tuhan.
Diungkapkan bahwa bagi seorang penyair, kemampuan meniadakan dirinya merupakan suatu keberhasilan bahwa karyanya itu bukanlah karya dia. Dia hanya dititipi dan diilhami. Dia hanya diberikan suatu anugerah atau medium bahwa tubuh kita atau rasa kita adalah medium ketuhanan. Yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Hanya kebetulan saja bahwa penyair itu diberikan sesuatu atau rasa, yang barangkali merupakan kelebihan, kemudian diekspresikan dengan lambang-lambang kata. “Lambang-lambang kata tersebut, menurut saya, merupakan perwujudan sumber energi ketuhanan,” jelas Taufiq.
Ditekankan bahwa sumber energi yang hakiki adalah dari Tuhan. Untuk itu, menurut Taufiq, dalam membuat puisi, seharusnya penyair tidak asal membuat, tetapi harus melakukan tirakat dulu, berkirim doa, puasa, kirim Fatihah, dan seterusnya. “Jadi, seorang penyair harus ikhlas, tidak boleh terbebani oleh apa pun. Harus dapat menemukan momen sufistik,” kata Taufiq.
Taufiq kemudian mengapresiasi puisi “99 Warna Cinta” karya Iberamsyah Barbary dan puisi “‘Ayn” karya Kemala. Kedua puisi tersebut dinilainya sebagai luar biasa. Berikut kutipan puisi Iberamsyah Barbary. //99 Warna Cinta//Aku hanya tahu 99 warna cinta dari ayat-ayat-Mu/Terangi aku dengan cahaya warna-warna tak terhingga/Melukis menarik garis, cinta/Aku ingin melukis, sedalam terangnya hati/Tidur dan bangunku, luruh, tumpah, di kanvas sujud/Air mata rindu/.
Menurut Taufiq, Iberamsyah Barbary begitu indah membangun ilustrasi puitik melalui kombinasi kata dan imaji, dan letupan kata yang cukup menyentak hati. Dikatakannya, begitu syahdu dan luar biasa, betapa penyair mengungkapkan suatu bentuk pengucapan puitik tanda cinta pada penciptanya. Suatu bentuk pengucapan puitik yang hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang betul-betul merasakan Tuhan dalam dirinya.
Ditekankan bahwa dengan segala rindunya, pengucapan sebagai bentuk pembacaan atas Allah, sebagaimana pembacaan atas seluruh kesadaran manusia tentang keesaan Allah, yang memercik menjadi 99 asma (al-asmaul husna). “Dengan segala kemutlakan-Nya, mampu digambarkan begitu indah oleh penyair, sebagaimana diumpamakan sebagai keinginan seorang pelukis, yang ingin melukiskan asma-asma itu sedalam dan seterang hati,” papar Taufiq.
Menurutnya, pembacaan dan pengucapan puitik atas asma Allah yang demikian ini betul-betul menyentuh perasaan, menyentuh sanubari manusia, yang di dalam hatinya ada cahaya, ada Nurullah. Atas asma-asma itu pula, cahaya itu mengalir, mengaliri seluruh nafas rindu manusia sebagai hamba. Oleh karena itu, menurut Taufiq, tidak salah kalau penyair sampai pada bentuk pengucapan yang betul-betul puitik. “Tidur dan bangunku, luruh, tumpah, di kanvas sujud air mata rindu,” pungkas Taufiq.
Acara NGONTRAS#13 yang diikuti sekitar 330-an peserta, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Akhir diskusi ditutup moderator dengan pantun: Mencari huruf di tengah kata, maka temukanlah bentuk keindahan. Cukup sekian diskusi kita, semoga bermanfaat sepanjang zaman.
Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.***