Karya sastra pada masa pendudukan Jepang tidak banyak, tetapi keberadaannya cukup penting. Karya berupa drama bisa menjadi sarana propaganda politik Jepang. Di dalam teks drama terekam jejak sejarah, pergulatan ideologi, dan situasi kehidupan masyarakat. Bahkan teks drama juga merekam propaganda sebagai strategi budaya politik Jepang kepada jajahannya.
Dr. Cahyaningrum Dewojati, M.Hum., dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM), Yogyakarta, ketika dihubungi menjelaskan bahwa sastra Indonesia pada zaman Jepang, khususnya karya drama, merupakan bagian penting dari sejarah sastra Indonesia. “Drama termasuk yang mendapat angin segar, karena diyakini mampu menjadi alat propaganda Jepang,” tegas Cahyaningrum yang akan menjadi pembicara dalam acara Kuliah Pakar, Sabtu mendatang (16/10/2021).
Acara Kuliah Pakar tersebut merupakan kegiatan NGONTRAS#3 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-3), yang disiapkan oleh HISKI Komisariat Jember bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (Sind FIB UNEJ), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP UMJ), dan Kelompok Riset Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal (KeRis TERKELOK), dengan tema Drama Indonesia Zaman Jepang.
Cahyaningrum, selain menjadi dosen di FIB UGM, juga menjadi dosen tamu di Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Tokyo, Jepang, sejak 2020 hingga 2022. Untuk itu, saat ini Cahyaningrum tinggal di Tokyo bersama keluarga. Pengalamannya menjadi pembicara di tingkat internasional sudah cukup banyak, di antaranya di Universitat Hamburg (2019), Pusat Penyelidikan Langkawi, Malaysia (2019), Trang, Thailand (2019), Thammasat University (2018), Malaysia (2018), dan Universitat Hamburg Asie-Afrika-Institut (2017). Tulisannya tentang sastra pada masa pendudukan Jepang telah diterbitkan dalam buku berjudul Memahami Drama-drama Indonesia Zaman Jepang (2019).
Lebih lanjut Cahyaningrum menjelaskan bahwa meskipun penting, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra yang diproduksi dan beredar pada masa penjajahan Jepang relatif sedikit. Hal ini disebabkan banyaknya aturan yang membelenggu dan kerasnya sensor militer yang menekan. Di sisi lain, karya sastra zaman Jepang belum banyak dilirik atau dikaji, baik oleh mahasiswa maupun para peneliti. Oleh karena itu, menjadi tantangan tersendiri sebagai objek material untuk diteliti.
Cahyaningrum juga mengingatkan bahwa dalam konteks penjajahan, perang boleh saja terjadi. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat tetap bergulir seperti biasa. Mereka tetap bertani, berdagang, bersekolah, membaca, mendapatkan hiburan, dan lain-lain. “Di sisi lain, karya sastra banyak menyimpan rekaman dan mencatat suasana hati. Termasuk mencatat perasaan, keinginan, perjalanan sejarah, budaya, kehidupan sosial, agenda politik, kritik sosial, misi terselubung, yang tak tercatat dan terekspresikan dalam media cetak lain, misalnya surat kabar,” kata Cahyaningrum.
Dalam pernyataan penutup, dirinya menaruh harapan besar. “Semoga diskusi Sabtu mendatang bisa membuka peluang kajian bidang kesastraan yang lebih komprehensif, khususnya periode masa pendudukan zaman Jepang,” kata Cahyaningrum.
Di sisi lain, ketika dihubungi, Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum., menyatakan bahwa NGONTRAS#3 diformat berbeda dari NGONTRAS sebelumnya. Dalam acara kali ini dipilih format Kuliah Pakar, agar ada variasi dalam memberi pencerahan kepada kolega akademis, terutama mahasiswa. Ketua HISKI Komisariat Jember yang juga dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (Sind FIB UNEJ) ini menegaskan bahwa Kuliah Pakar diyakini mampu membuka cakrawala wawasan akademis, sehingga mampu membentuk atmosfer akademik. “Format Kuliah Pakar diharapkan dapat mendialogkan isu-isu penting dalam kajian sastra, terutama menyangkut ranah yang belum banyak dikaji oleh para peneliti, seperti isu tentang drama Indonesia zaman Jepang ini,” kata Heru.
Heru juga menjelaskan bahwa masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan periode penting, bukan saja dalam konteks sejarah Indonesia, melainkan juga dalam konteks sejarah sastra Indonesia. Hal ini berpengaruh terhadap sikap para sastrawan Indonesia. “Implikasi dari masa pendudukan Jepang, sastrawan kita terbelah. Sebagian ada yang pro-Jepang, tercermin dari karya-karyanya yang menyambut baik keberadaan Jepang di Indonesia. Sebagian yang lain kontra-Jepang, karena sejak awal telah mencurigai mereka,” kata Heru.