Dr. Dina D. Kusumayanti: Ideologi Sastra Anak, dari Gender hingga Multikulturalisme

Sastra anak berkisah seputar persoalan kehidupan anak. Meskipun demikian, banyak karya sastra anak yang ditulis oleh orang dewasa. Sebagaimana teks yang lain, teks sastra anak tidak terlepas dari muatan ideologi. Ideologi di dalam sastra anak cukup beragam, mulai dari gender hingga multikulturalisme.

Demikian rangkuman materi yang dipresentasikan Dr. Dina D. Kusumayanti, M.A. dalam Webinar NGONTRAS#12 berjudul “Ideologi dalam Sastra Anak”. Pembicara kedua yang berprofesi sebagai dosen di Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember ini menekankan bahwa sebagaimana teks sastra untuk orang dewasa, teks sastra anak juga sarat dengan ideologi, bahkan tidak ada teks yang tanpa ideologi.

Acara NGONTRAS#12 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-12) tersebut diselenggarakan oleh Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Program Studi Sastra Inggris dan Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal Semiotika, dan Teen and Children’s Literature Research Group (TCLRG), Sabtu (30/7/2022).

Dina menjelaskan bahwa ideologi adalah sistem ide yang digunakan untuk memahami, menjelaskan, dan mengubah dunia. Ideologi dibuat dalam ruang yang memiliki konteks. Dikatakan bahwa ideologi menjadi seperangkat ide yang merefleksikan keyakinan, kepentingan, kebutuan sosial-kultural-politik,dan aspirasi yang dimiliki oleh individu, kelompok, atau kelas tertentu.

Sekadar memberi gambaran yang lebih eksplisit, Dina juga menjelaskan macam-macam ideologi dan tatarannya. Di antaranya ada tiga kategori. Pertama, agama, sosial-kultural, politik, keluarga, perusahaan, dan kelompok. Kedua, Marxisme, nasionalisme, liberalisme, feminisme, kapitalisme, chauvinisme, rasisme, dan paham-paham yang lain. Ketiga, gender, environmentalism, maritim, dan LGBTQ (lesbian gay biseksual transgender queer).

Di sisi lain, Dina juga menjelaskan level ideologi. Menurutnya ada tiga level ideologi. Pertama, ideologi yang dinyatakan secara terang dan jelas. Kedua, ideologi pengarang/ ilustrator/editor yang terselip dan seringkali tak terperhatikan atau tidak disadari oleh pembacanya. Ketiga, ideologi yang melayang-layang, berputar-putar, atau terngiang-ngiang. “Meskipun melayang-layang, ideologi yang ketiga ini mengarahkan pada arah tertentu, mengarahkan kita untuk mengambil posisi, apakah setuju, berpihak, menolak, atau bernegosiasi,” jelas Dina.

Dijelaskan pula bahwa dalam tataran kata atau teks verbal pun terdapat ideologi. Dicontohkan dengan kalimat: Semoga Allah (diucapkan “Alah”) memberkati keluarga Anda. Teks ini mengandung ideologi Kristiani. Contoh lain: Semoga Allah (diucapkan “Auloh”) memberkahi keluarga Anda. Teks ini mengandung ideologi Islam. “Hal ini membuktikan bahwa dalam tataran kata pun terkandung ideologi, keyakinan, norma, nilai-nilai, intensitas, dan kepentingan-kepentingan tertentu,” tandas Dina.

Di sisi lain, dijelaskan bahwa ideologi bukan hanya bersemayam di dalam bahasa verbal, melainkan juga dalam bahasa visual, misalnya film, gambar, ilustrasi, dan visual lainnya. Dicontohkan, ketika tangan menengadah berdoa dengan gesture tertentu, menunjukkan agama atau keyakinan tertentu, karena ada kebiasaan yang berbeda antara agama satu dan agama lainnya. “Contoh lain yang sederhana, misalnya bendera merah putih, lambang Garuda Pancasila, menunjukkan ideologi nasional atau bangsa Indonesia,” kata Dina.

Berdasarkan kajian Dina, contoh ideologi dalam sastra anak, di antaranya dalam karya-karya Murti Bunanta, yakni karya yang berjudul “Senggutru” dan “Suwidak Loro” merepresentasikan ideologi gender. Buku yang ditulis anak-anak, misalnya “Kisah-Kisah dari Bawah Laut Negeri Bahari” dan “Kisah Kori dan Koca” mengandung ideologi kemaritiman. Sementara itu, karya berjudul “Listen to the Wind” mengandung ideologi multikulturalisme. “Hal itu menunjukkan bahwa teks sastra anak mengandung ideologi yang beragam. Ada gender, kemaritiman, multikulturalisme, dan masih banyak ideologi lainnya,” jelas Dina.

Ideologi yang diwakili oleh teks visual terdapat pada karya yang berjudul “Mom and Mum are Getting Married!” dan “Daddy, Papa, and Me”. Kedua karya tersebut mewakili hubungan parental dengan kesamaan jenis kelamin.

Dalam menjawab pertanyaan, Dina menjelaskan bahwa batasan riset sastra anak cukup luas karena banyak teori yang dapat digunakan untuk melakukan riset sastra anak.Teori-teori seperti Marxisme, analisis wacana kritis, multimodal, strukturalisme genetik, adaptasi, dan formula dapat digunakan.Termasuk juga upaya untuk mengungkap ideologi dan identitas.

Menurut Dina, filosofi yang paling mendasar untuk sastra anak adalah dulce et utile, yakni menyenangkan dan berguna. Dengan demikian, sastra anak diciptakan atau ditulis untuk mentransfer pengetahuan dengan cara yang menyenangkan.

Dijelaskan bahwa berdasarkan hasil studi, didapatkan sebagian cerita rakyat di Indonesia mengandung unsur kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Oleh karena itu, menurut Dina, cerita rakyat tidak boleh diterima atau dikonsumsi secara polos begitu saja oleh anak-anak.Cerita rakyat yang akan disajikan sebagai sastra anak harus disesuaikan/didekonstruksi/dimodifikasi sedemikian rupa sehingga nilai-nilai dan ideologi yang akan disebarluaskan atau didesiminasikan kepada anak telah sesuai dengan kebutuhan anak.“ Jadi, kita harus hati-hati ketika membicarakan atau menyuguhkan cerita rakyat kepada anak,” pesan Dina.

Kemudian Dina membandingkan dengan cerita rakyat Malin Kundang yang ditanyakan audiens. Dalam menjawab terkait fenomena anak durhaka dalam Malin Kundang, Dina memiliki pandangan tersendiri. “Menurut saya, cerita Malin Kundang ini memang tidak baik, karena ibunya berbuat keterlaluan,” ungkap Dina.

Acara yang diawali dengan sambutan oleh Ketua HISKI Jember, Dr. Heru S.P. Saputra, M.Hum. tersebut, dipandu oleh moderator Dra. Supiastutik, M.Pd., anggota HISKI Jember sekaligus dosen FIB UNEJ, dan pewara Dina Merdeka Citraningrum, S.Pd., M.Pd., anggota HISKI Jember dan dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Jember.

Moderator ketika memulai acara berpantun. Ke Surabaya beli belanak, ke pasar membeli buah kiwi. Selamat belajar sastra anak, membentuk karakter lebih manusiawi. Dalam menutup sesi tanya jawab, moderator kembali berpantun. Karakter anak begitu lugas, diukir secara perlahan-lahan. Selamat tinggal NGONTRAS ke-12, sampai jumpa di webinar bulan depan.

Bagi yang tidak sempat bergabung, dapat menyimak ulang rekaman zoom melalui https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.

Written by