Bahasa Mandailing (di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara) dan bahasa Using (di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur) memiliki daya tarik tersendiri, khususnya terkait fenomena pemilihan bahasa. Dalam bahasa Mandailing, faktor-faktor dominan yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan bahasa adalah faktor situasi. Sementara itu, dalam bahasa Using, faktor yang dominan adalah faktor partisipan etnik.
Demikian rangkuman hasil diskusi rutin bulanan bertajuk NGONTRAS#11 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-11), dalam membahas persoalan pemilihan bahasa. Diskusi tersebut diselenggarakan atas kerja sama antara Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember), Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal SEMIOTIKA, dan Kelompok Riset Kontak Bahasa di Wilayah Tapal Kuda (KOBATAKU), Sabtu (11/6/2022).
Acara yang diselenggarakan secara daring tersebut mengundang Syaiful Bahri Lubis (Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) dan Dr. Agus Sariono, M.Hum. (Dosen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember). Moderator Dra. A. Erna Rochiyati S., M.Hum., anggota HISKI Jember sekaligus dosen Sastra Indonesia FIB UNEJ, sedangkan pewara Dina Merdeka Citraningrum, S.S., M.Pd., anggota HISKI Jember dan dosen PBSI FKIP Universitas Muhammadiyah Jember.
Dalam sambutannya, Dekan FIB Universitas Jember, Prof. Dr. Sukarno, M.Litt. menyampaikan bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi yang sangat penting dalam konteks kehidupan sehari-hari. Tanpa bahasa, tidak akan ada kehidupan sosial masyarakat. Dengan bahasa, kita dapat mengungkapkan segala gagasan, perasaan, dan isi hati.
Dijelaskannya bahwa bahasa diperoleh dengan cara dipelajari. Persoalan yang sama dapat diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda. “Hal yang sama dapat diungkapkan menjadi lucu, marah, senang, dan sebagainya, karena dipengaruhi oleh bahasa yang kita pilih,” kata Sukarno.
Disampaikan pula bahwa dalam berkomunikasi, kita dapat memilih bahasa atau kata-kata yang sesuai dengan situasi dan keinginan. Bahasa dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan beragam informasi berbeda dengan cara yang sama. Hal itu termasuk pilihan bahasa. “Ketika ada perempuan subur, mungkin tidak nyaman kalau dikatakan gemuk. Lebih nyaman kalau dikatakan makmur,” kata Sukarno memberi contoh tentang pemilihan kata.
Sukarno juga menjelaskan tentang berbagai fenomena pemilihan bahasa dalam keseharian, termasuk ungkapan yang sering dijumpai dalam komunikasi sehari-hari. Dicontohkannya bahwa walaupun kepala kita panas, hati harus tetap dingin. Meskipun kita ada yang kurang pas dengan orang lain yang kita ajak bicara, kita sebaiknya mengungkapkan dengan cara yang santun. “Itu menjadi penciri kita sebagai orang Timur,” kata Sukarno.
Syaiful Bahri Lubis, sebagai pembicara pertama, menjelaskan fenomena pemilihan bahasa dalam konteks bahasa Mandailing di Sumatera Utara. Situasi kebahasaan masyarakat Mandailing menunjukkan masyarakat tutur dengan bilingual atau multilingual, dengan bahasa Indonesia, bahasa Mandailing, dan bahasa Angkola.
Dijelaskan pula bahwa di wilayah Mandailing Natal terdapat etnis Mandailing, Minangkabau, Angkola, Jawa, dan beberapa etnis lainnya. Bahasa Mandailing digunakan oleh masyarakat setempat dalam konteks ranah yang beragam, di antaranya ranah keluarga, ranah sosial, ranah keagamaan, adat, dan penggunaan mantra.
Syaiful mengungkapkan bahwa faktor dominan yang memengaruhi pemilihan bahasa dalam masyarakat Mandailing adalah faktor situasi. Dicontohkannya bahwa permintaan maaf dalam bahasa sehari-hari berbeda dari permintaan maaf dalam konteks adat. “Dalam bahasa sehari-hari menggunakan bahasa sederhana, tetapi dalam upacara adat lebih kompleks, karena ada salam pembuka, kemudian permohonan maaf, sehingga tidak sederhana. Jadi, situasi menjadi faktor dominan yang memengaruhi dalam pemilihan bahasa,” kata Syaiful, yang telah sukses memimpin Kantor Bahasa NTT dan kini mengabdi di Badan Bahasa, Jakarta.
Dijelaskannya bahwa dalam bahasa Mandailing terdapat komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal mencakup enam jenis, yakni hata andung (bahasa ratapan), hata teas dohot jampolak (bahasa makian), hata parkapur (bahasa dalam hutan), hata somal (bahasa sehari-hari), hata adat (bahasa adat), dan hata si baso (bahasa dukun).
Sementara itu, komunikasi nonverbal mencakup empat hal, yakni bulung-bulung nai susun (daun-daun yang disusun), bungkus sigaret na kosong (bungkus rokok yang kosong), sora ni takar nai tokok (suara tempurung yang dipukul), dan sora ni otuk ato tongtong (suara kentongan atau gong).
Lebih lanjut dijelaskan tentang komunikasi verbal. Menurut Syaiful, hata andung, selain digunakan untuk meratapi jenazah, juga kerap digunakan oleh gadis Mandailing ketika memasuki jenjang pernikahan. “Dalam adat Mandailing, sore hari setelah resepsi pernikahan diselenggarakan di rumah mempelai wanita, sang mempelai akan dibawa ke rumah keluarga laki-laki. Inilah saat-saat yang dinanti-nantikan orang sekampung untuk menyaksikan prosesi penyerahan mempelai wanita kepada mempelai pria,” kata Syaiful.
Dalam konteks komunikasi nonverbal, salah satu fenomena yang menarik adalah penggunaan bungkus rokok. “Bungkus sigaret na kosong atau bungkus rokok yang kosong, dalam konteks masyarakat Mandailing berarti istri yang dinikahinya tidak perawan,” kata Syaiful.
Agus Sariono, sebagai pembicara kedua, memaparkan fenomena pemilihan bahasa dalam konteks bahasa Using di Banyuwangi. Dijelaskannya bahwa faktor paling dominan yang menjadi penentu pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur Using dan masyarakat tutur Jawa yang ada di Banyuwangi adalah faktor partisipan, khususnya partisipan etnik. “Artinya, siapa yang menjadi partisipan dalam mitra tutur, itu yang memengaruhi pemilihan bahasa,” kata Agus, Koordinator Prodi S-2 Linguistik FIB UNEJ.
Dijelaskannya bahwa bahasa Using tidak mengenal penanda gender dan tingkat tutur. Di sisi lain, dalam bahasa Jawa, tingkat tutur merupakan hal yang dominan. Sementara itu, fenomena yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa bahasa Using disukai oleh orang di luar masyarakat Using. “Hal ini, menurut saya, karena faktor kesenian Using, di antaranya lagu-lagu Using. Lagu-lagu berbahasa Using banyak diperdengarkan di berbagai tempat dan sarana, termasuk di transportasi umum. Ini menjadi semacam promosi, sehingga banyak orang luar Using yang tertarik dengan bahasa Using,” kata Agus, yang juga menjadi ketua Kelompok Riset KOBATAKU.
Dipaparkan pula bahwa keberadaan masyarakat Banyuwangi di antaranya terdiri atas etnik Using, Jawa, dan Madura. Di Banyuwangi Kota (dan juga di berbagai tempat di Banyuwangi), etnik Using dan Jawa hidup berdampingan. Kedua etnik itu memiliki khasanah bahasa yang sama atau mirip, yakni menguasai bahasa Using, bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa krama, dan bahasa Indonesia. Meskipun demikian, ada perbedaan dalam pola pemilihan bahasanya. Orang Using selalu menggunakan bahasa Using ketika berbicara dengan sesama orang Using, khususnya dalam peristiwa tutur yang khas masyarakat tutur Using. “Dalam peristiwa tutur ini orang Jawa tidak pernah memilih bahasa Using ketika berbicara kepada orang Using,” jelas Agus.
Dijelaskannya bahwa ranah pemilihan bahasa mencakup tunggal bahasa, alih kode, dan campur kode. Tunggal bahasa merupakan pemilihan satu varietas bahasa mulai awal sampai akhir peristiwa tutur, sedangkan alih kode merupakan pergantian pemakaian satu kode untuk satu keperluan (komunikasi) ke kode yang lain untuk keperluan yang lain dalam satu peristiwa tutur. Adapun campur kode adalah pemakaian satu kode yang disisipi oleh unsur-unsur dari kode yang lain. “Ketiga pemilihan bahasa tersebut terjadi dalam peristiwa tutur, atau komunikasi antara penutur dan mitra tutur,” kata Agus.
Dengan mengutip Hymes, Agus menjelaskan rumusan delapan komponen tutur, yakni setting and scene (latar tempat dan situasi), participants (partisipan), ends (tujuan), act sequence (topik dan jenis bahasa), key (cara bertutur), instrumentalities (sarana tutur), norm of interaction and interpretation, dan genre. Analisis komponen tutur merupakan analisis konteks nonlingual tempat tuturan itu terjadi. Manfaatnya untuk memahami latar belakang atau faktor penyebab terjadinya pemilihan bahasa. “Analisis komponen tutur ini digunakan sebagai salah satu dasar untuk mengidentifikasi keberadaan masyarakat tutur,” kata Agus,
Menurut Agus, bahasa Using terutama digunakan ketika berbicara dengan sesama orang Using, dalam situasi santai, untuk topik yang tidak serius sampai dengan serius. Bahasa Using pada umumnya tidak digunakan ketika berbicara kepada penutur dari etnik bukan Using. “Jika terjadi pemilihan bahasa Using ketika berbicara kepada orang Jawa, diperkirakan ada faktor khusus yang melatarbelakanginya, misalnya orang Jawa tersebut sudah menjadi partisipan masyarakat tutur Using atau bahkan sudah menjadi anggota masyarakat tutur Using,” kata Agus mengakhiri pembicaraan.
Acara NGONTRAS#11 yang diikuti lebih dari 300 peserta, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penutupan dilakukan oleh pewara dengan pantun: Jika boros artinya tak hemat, namun dermawan suka berbagi. Hadirin sekalian yang terhormat, terima kasih telah menyimak acara kami.
Rekaman zoom dapat disimak ulang melalui https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.