Webinar HISKI Jember Perbincangkan Dinamika Budaya Using

Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP UM Jember), dan Kelompok Riset Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal (KeRis TERKELOK), usai adakan Webinar Nasional bertajuk NGONTRAS#10 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-10), perbincangkan dinamika budaya Using, Sabtu (21/5/2022).

Webinar yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting ini menghadirkan narasumber Ir. Wowok Meirianto, M.T., Ketua Komunitas Osing Pelestari Adat Tradisi (KOPAT) Banyuwangi dan Owner Waroeng Kemarang Banyuwangi (sebuah destinasi wisata kuliner dengan daya tarik seni budaya), dan Dr. Puji Wahono, S.E., M.A., dosen FISIP Universitas Jember.

Moderator adalah Edy Hariyadi, S.S., M.Si., sedangkan pewara Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum., keduanya anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen Sastra Indonesia FIB UNEJ. Webinar juga diikuti secara hibryd oleh anggota KOPAT, di Waroeng Kemarang, Banyuwangi.

Dalam sambutannya, Dekan FKIP UM Jember, Dr. Kukuh Munandar, M.Kes. menekankan bahwa kegiatan webinar semacam ini penting untuk ditradisikan. Hal ini akan membuka wawasan kita. “Kegiatan webinar ini menarik untuk diikuti. Semoga kita semua mendapatkan wawasan tentang budaya Using dan juga dinamikanya, “ kata Kukuh.

Wowok Meirianto, sebagai pembicara pertama, menjelaskan bahwa banyak hal menarik dari Banyuwangi atau budaya Using, termasuk kesenian dan wisatanya. Dalam paparannya, Wowok lebih menekankan pada seni sebagai destinasi wisata budaya di Banyuwangi yang berkelanjutan. Dikatakannya bahwa Banyuwangi memiliki agenda rutin tahunan, yakni B-Fest, atau Banyuwangi Festival. Ada 99 event pada tahun 2022 ini. Hampir setiap Sabtu dan Minggu ada event yang berisi daya tarik seni budaya, alam, dan produk buatan manusia.

Pertanyaan yang kemudian dilontarkan oleh Wowok, apakah cukup hanya dengan B-Fest itu untuk menarik wisatawan? Apakah fenomena budaya tersebut akan berlangsung secara berkelanjutan? Bertolak dari pertanyaan tersebut, Wowok memandang perlu untuk menjadikan seni budaya Using sebagai destinasi wisata berkelanjutan.

“Yang diinginkan oleh seniman dan budayawan kita adalah kesenian yang berkelanjutan. Sehingga para wisatawan yang datang ke Banyuwangi itu jangan sampai menunggu. Ternyata akan menonton Seblang kok adanya hanya setahun sekali,” kata Wowok, ketua KOPAT.

Jadi, perlu adanya arak-arakan barong, arak-arakan seblang secara berkelanjutan. Bukan hanya di satu desa, tapi juga di desa-desa lainnya. Ada terus, secara berkelanjutan. “Di Waroeng Kemarang misalnya, seminggu sekali selalu ada pentas tari gandrung. Kami juga mengadakan pentas gandrung semalam suntuh pada satu Suro atau malam tahun baru,” tandas Wowok.

Ditekankannya bahwa budaya bukan sekadar mengutamakan estetika, tetapi juga dapat dinikmati oleh para wisatawan, sehingga mampu menjadikan multiplayer efek bagi ekonomi di Banyuwangi.

Wowok juga mengungkapkan bahwa komunitasnya juga melestarikan ritual-ritual yang ada dalam pertanian. Mulai dari labuh nyingkal, labuh ngurit, labuh tandur, ngrujaki, labuh nggampung, labuh leson, dan sebagainya.

Lebih lanjut, Wowok meminta bahwa Barong juga jangan hanya ditampilkan setahun sekali dalam ritual Ider Bumi. Tetapi ditampilkan juga sebagai seni pertunjukan, termasuk untuk mengiringi arak-arakan kegiatan budaya apa pun. Dengan demikian, dapat ditampilkan setiap saat, sehingga menjadi destinasi wisata.
“Dengan demikian, wisatawan yang datang tidak kecewa, karena tidak dapat menyaksikan kesenian yang diharapkan, lantaran datang tidak sesuai jadwal tampil kesenian tersebut,” kata Wowok.

Ditegaskannya bahwa yang diinginkan oleh para seniman dan budayawan adalah suatu destinasi wisata yang berkelanjutan. Sebagai contoh adalah Gandrung. Diharapkan Gandrung ini menjadi tarian pembuka di setiap acara, di setiap ritual, di setiap kegiatan yang ada di Banyuwangi. “Jadi selalu ada Jejer Gandrung,” tegas Wowok.

Puji Wahono, sebagai pembicara kedua, mengungkapkan bahwa masyarakat Using memiliki berbagai keunikan, mulai dari adat-istiadat, bahasa, kuliner, ritual, pakaian adat, rumah adat, tradisi mepe kasur, mocoan lontar Yusuf, Gandrung, hingga berbagai kesenian lainnya. Semua dapat dikembangkan sebagai destinasi pariwisata.

“Meskipun demikian, perlu adanya keseimbangan antara budaya dan ekonomi, sehingga secara ekonomi bisa berkembang, sedangkan secara budaya juga bisa lestari,” kata Puji.

Dikatakannya bahwa yang penting seni dan budaya perlu diperhatikan aturan mainnya. Dalam arti, tidak cukup pengembangan pariwisata semata-mata untuk mengejak sektor ekonomi, tetapi juga harus diperhatikan substansinya.

“Jadi, menurut saya, dapat diambil jalan tengah, yakni yang sakral dan profan berjalan beriringan,” jelas Puji.

Webinar terasa istimewa, karena dalam zoom bergabung juga Rektor UNTAG Banyuwangi, Drs. Andang Subaharianto, M.Hum., yang juga dosen Sastra Indonesia FIB UNEJ. Ketika menyampaikan pandangannya, Andang menyetujui gagasan budayawan Wowok, bahwa kesenian harus menjadi destinasi wisata berkelanjutan. B-Fest (Banyuwangi Festival) harus menjadi projek aktivitas masyarakat. Untuk itu, perlu sinergi yang kuat antara kalangan pemerintah, seniman-budayawan, dan masyarakat.

“Setiap ada undangan festival di meja saya, meja Rektor Untag, selalu datang dari pemerintah, melalui dinas tertentu. Belum ada undangan dari masyarakat atau seniman. Ini berarti B-Fest belum menjadi kegiatan milik masyarakat,” tandas Andang, yang juga kolumnis Radar Banyuwangi.

Andang menekankan, tidak dapat dipungkiri bahwa di Banyuwangi, budaya Using merupakan pilar utama sebagai destinasi wisata. Perlu adanya profanisasi berbagai seni dan ritual yang sakral. Andang mencontohkan kesuksesan Wandra dalam bidang musik. Pemuda yang masih kuliah di Untag ini sukses sebagai penyanyi dengan mengandalkan kearifan lokal, yakni bahasa dan budaya Using.

Lebih lanjut, Andang menjelaskan bahwa banyak konten muatan budaya Using yang punya potensi untuk dikomodifikasikan. Menurutnya, budaya Using dulu menjadi bagian dari tradisi dan ritual, tetapi selalu mengalami dinamika sesuai perkembangan zaman. Ketika industrialisasi menggerakkan masyarakat, maka budaya Using juga mengalami komodifikasi dan profanisasi.

Andang mencontohkan pecel pitik (‘pecel ayam’). Dua puluh tahun yang lalu, makanan berupa pecel pitik hanya ada ketika diselenggarakan ritual atau slametan. Tetapi sekarang, pecel pitik telah mengalami komodifikasi dan profanisasi. “Di tempatnya Pak Wowok, Waroeng Kemarang, selalu ada pecel pitik. Jadi, pecel pitik bukan lagi hanya menjadi bagian dari ritual, tetapi sudah mengalami komodifikasi dan profanisasi,” jelas Andang, penulis buku Banyuwangi Rebound.

Selain itu, penting juga untuk dilakukan komodifikasi dan profanisasi berbagai seni dan ritual Using. “Ketika industrialisasi menggerakkan masyarakat, mau tidak mau, seni budaya Using pasti mengalami komodifikasi dan profanisasi,” jelas Andang.

Acara NGONTRAS#10 disambut meriah oleh audiens hingga acara berakhir. Sesi penutupan dilakukan oleh pewara dengan pantun: Berjalan jauh menyusuri tebing,
ternyata waktu begitu singkat. Terima kasih untuk para lare Osing, yang telah berdiskusi dengan hangat.

Rekaman Webinar NGONTRAS dapat disimak ulang melalui Kanal Youtube HISKI JEMBER OFFICIAL dengan klik https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.

Written by