Dr. Hasan Suaedi: Pembelajaran Sastra Disesuaikan Tingkat Kognitif

Sastra merupakan media pembelajaran yang baik, terutama dalam kaitannya dengan upaya membangun karakter. Namun, perlu diperhatikan dengan seksama, terutama terkait tingkat kognitifnya. Sastra sebagai media pembelajaran harus disesuaikan tingkat kognitifnya, yakni antara tingkat kognisi siswa dengan tingkat kognisi cerita yang ada di dalam novel. Jika tidak, akan muncul problem.

Demikian rangkuman paparan dan diskusi yang disampaikan oleh Dr. Hasan Suaedi, M.Pd. (FKIP Universitas Muhammadiyah Jember), sebagai pembicara kedua dalam Webinar Nasional dengan tema “Sastra sebagai Media Pembelajaran”. Pembicara pertama adalah Dr. Yulianeta, M.Pd. dari FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, yang telah menyoal tema serupa dalam webinar yang diselenggarakan HISKI Jember, Sabtu (26/11/2022). Selengkapnya

Dr. Yulianeta: Sastra Mengajarkan Humanisme Universal

Sastra merupakan produk budaya yang mengajarkan humanisme universal. Meskipun yang dikisahkan terkait dengan hal buruk, karya sastra tetap mengajarkan kabaikan dan kemanusiaan. Sastra mengajarkan karakter yang baik. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran kritis dari pambaca dalam memahami misi yang disampaikan pengarang ataupun pengajar.

Demikian rangkuman paparan dan diskusi yang disampaikan oleh Dr. Yulianeta, M.Pd. dari FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, sebagai pembicara pertama dalam Webinar Nasional dengan tema “Sastra sebagai Media Pembelajaran”. Pembicara kedua adalah Dr. Hasan Suaedi, M.Pd. (FKIP Universitas Muhammadiyah Jember), yang juga menyoal tema serupa dalam webinar yang diselenggaranan HISKI Jember, Sabtu (26/11/2022).

Webinar secara daring tersebut diselenggarakan kerja sama Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal Semiotika, Center for English Literature and Culture (CELC), bertajuk NGONTRAS#16 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-16). Selengkapnya

NGONTRAS#16, dengan tema Sastra sebagai Media Pembelajaran

[NGONTRAS#16]

Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP Unmuh Jember), Jurnal Semiotika, dan Center for English Literature and Culture (CELC), mempersembahkan:

NGONTRAS#16, dengan tema Sastra sebagai Media Pembelajaran.

Sastra mengisahkan beragam peristiwa yang merepresentasikan realitas sosial. Sastra juga memuat intensi pengarang dalam menularkan nilai-nilai kehidupan. Dengan sastra, diharapkan dapat diapresiasi oleh pembaca dari sisi edukasi, karakter, moral, hingga dimensi humanisme.

Pertanyaan yang kemudian muncul, pembelajaran seperti apa yang didapat dari sastra? Bagaimana kontribusi sastra dalam mengedukasi pembaca? Selengkapnya

Prof. Sofyan: Pantang Larang sebagai Wujud Nilai Budaya dan Agama

Pantang larang dalam masyarakat atau kelompok etnik Madura merupakan wujud nilai budaya dan agama. Sanksi yang muncul dalam pantang larang dapat menjadi sarana edukasi dalam konteks budaya lokal dan agama Islam. Sebagian pantang larang masih eksis hingga kini, sedangkan sebagian lainnya mulai ditinggalkan. Semakin rasional suatu pantang larang, semakin tidak dipercayai atau semakin dibantah oleh generasi muda.

Demikian rangkuman paparan dan diskusi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Akhmad Sofyan, M.Hum. dari FIB Universitas Jember (sofyanakhmad544@gmail.com), dalam Webinar Nasional dengan tema “Pantang Larang dalam Masyarakat Etnik”. Pembicara lain yang telah memaparkan sebelumnya adalah Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. dari FIB Universitas Gadjah Mada (putu.wijana@ugm.ac.id), yang juga menyoal tema serupa dalam webinar yang diselenggaranan HISKI Jember, Sabtu (29/10/2022).

Webinar secara daring tersebut diselenggarakan kerja sama Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal Semiotika, dan Kelompok Riset OKARA: Bahasa dan Sastra Madura (KeRis OKARA), bertajuk NGONTRAS#15 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-15). Selengkapnya

Prof. Putu: Tidak Perlu Apriori terhadap Pantang Larang

Sebagai ahli, peneliti, dan akademisi bidang bahasa, kita tidak perlu apriori atau berpraanggapan terhadap keberadaan pantang larang, pamali, atau tabu beserta sanksinya. Pantang larang itu semacam pranata tradisional dalam kehidupan. Masyarakat lebih memahaminya lantaran berdasarkan pengalaman. Pantang larang merupakan pengalaman yang diperoleh masyarakat secara turun-temurun, dari nenek moyang, dari leluhur mereka. Berefleksi pada pantang larang, tidak semua persoalan bisa diselesaikan hanya dengan logika.

Demikian rangkuman paparan dan diskusi yang disampaikan oleh Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. dari FIB Universitas Gadjah Mada (putu.wijana@ugm.ac.id), sebagai pembicara pertama dalam Webinar Nasional dengan tema “Pantang Larang dalam Masyarakat Etnik”. Pembicara kedua adalah Prof. Dr. Akhmad Sofyan, M.Hum. dari FIB Universitas Jember (sofyanakhmad544@gmail.com), yang juga menyoal tema serupa dalam webinar yang diselenggaranan HISKI Jember, Sabtu (29/10/2022).

Webinar secara daring tersebut diselenggarakan kerja sama Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal Semiotika, dan Kelompok Riset OKARA: Bahasa dan Sastra Madura (KeRis OKARA), bertajuk NGONTRAS#15 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-15). Selengkapnya

NGONTRAS#15, dengan tema Pantang Larang dalam Masyarakat Etnik

[NGONTRAS#15]

Dalam rangka perayaan Bulan Bahasa dan Sastra 2022, Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal Semiotika, dan Kelompok Riset OKARA: Bahasa dan Sastra Madura (KeRis OKARA), mempersembahkan:

NGONTRAS#15, dengan tema Pantang Larang dalam Masyarakat Etnik.

Pantang larang dapat juga disebut sebagai pantangan, pamali, atau tabu. Pantang larang merupakan konvensi yang dianut oleh masyarakat etnik agar seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan sesuatu melalui ucapan, tindakan, atau perilaku lain. Jika hal itu dilanggar, akan berlaku sanksi sosial, sanksi moral, atau sanksi adat. Dalam berbagai kelompok etnik di Nusantara, seperti Jawa, Bali, atau Madura, banyak pantang larang yang dianut.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka, bagaimana asal-muasal munculnya pantang larang? Bagaimana pula kajian kebahasaan memahami makna pantang larang? Benarkah eksistensi pantang larang tergerus oleh perkembangan zaman? Selengkapnya

Abu Bakar R.M., M.A.: Mewaspadai Suara yang Terwakilkan

Dalam pemahaman poskolonial, perlu adanya kewaspadaan terhadap kewajaran wacana. Juga kewaspadaan terhadap suara-suara yang terwakilkan. Pihak-pihak pinggiran, terpinggirkan, subaltern, dalam mewacanakan sesuatu perlu diwaspadai. Jika suara-suara itu datang dari dirinya, dari pihaknya, tidak ada masalah. Tetapi kalau suara-suara itu diserukan atas orientasi pihak yang dominan, atau subjek lain, maka perlu diwaspadai, karena wacana tersebut telah terwakilkan sehingga menjadi bermuatan poskolonial.

Demikian rangkuman paparan yang disampaikan oleh Abu Bakar Ramadhan Muhamad, S.S., M.A., dosen FIB UNEJ, dalam Webinar Nasional dengan tema “Sastra Poskolonial”. Pembicara lain yang telah memaparkan sebelumnya adalah Dr. Sudibyo, M.Hum., dosen FIB UGM, yang juga menyoal tema serupa dalam webinar yang diselenggaranan HISKI Jember, Sabtu (24/9/2022).

Webinar secara daring tersebut diselenggarakan kerja sama HISKI Jember dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP UMJ), Jurnal Semiotika, dan Kelompok Riset Sastra Humaniora (KeRis SASHUM). Selengkapnya

Dr. Sudibyo: Pelajaran Berharga di Balik Kajian Poskolonial

Banyak pelajaran berharga ketika kita berkhidmat dalam kajian poskolonial, sebuah disiplin yang menyoal wacana penjajah dan terjajah. Paradigma poskolonial bukan untuk melanggengkan praktik penjajahan. Justru sebaliknya, kita dapat mengambil hikmah untuk tidak terjebak pada kondisi yang sama dengan masa lalu, kondisi yang membuat bangsa lain leluasa mempraktikkan kolonialisme di negeri ini.

Demikian benang merah paparan yang disampaikan oleh Dr. Sudibyo, M.Hum., dosen FIB UGM, dalam Webinar Nasional dengan tema “Sastra Poskolonial”. Pembicara lain adalah Abu Bakar Ramadhan Muhamad, S.S., M.A., dosen FIB UNEJ, yang juga menyoal tema serupa dalam webinar yang diselenggaranan HISKI Jember, Sabtu (24/9/2022).

Webinar secara daring tersebut diselenggarakan kerja sama HISKI Jember dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP UMJ), Jurnal Semiotika, dan Kelompok Riset Sastra Humaniora (KeRis SASHUM). Selengkapnya

NGONTRAS#14 dengan tema Sastra Poskolonial

[NGONTRAS#14]

Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember (FKIP UMJ), Jurnal Semiotika, dan Kelompok Riset Sastra Humaniora (KeRis SASHUM), mempersembahkan:

NGONTRAS#14, dengan tema Sastra Poskolonial.

Sastra poskolonial berkelindan dengan paradigma superioritas Barat terhadap inferioritas Timur, baik dalam refleksinya sebagai orientalisme, imperialisme, atau kolonialisme. Kajian poskolonial juga mengeksplorasi dimensi “memandang dan dipandang” atau cara pandang subjek dan objek.

Sekelumit persoalan yang kemudian muncul, bagaimana pola-pola dan residu kolonialisme yang terekam di dalam karya sastra? Bagaimana kekuatan Barat dalam memandang Timur? Bagaimana pula counter hegemoni yang dapat dilakukan Timur kepada Barat? Selengkapnya

Dr. Akhmad Taufiq: Spiritualitas Puisi Itu Ranah Pos-Agama

Spiritualitas itu berada pada ranah pos-agama, setelah agama, di atas agama. Ranah ini bukan lagi pada tataran syariat, melainkan pada hakikat. Spiritualitas berbeda dari religiositas. Tetapi spiritualitas dapat dicapai melalui jalan religiositas, jalan agama. Meskipun berada pada wilayah pos-agama, tidak boleh dipertentangkan antara syariat dan hakikat. Dalam religiositas Islam, spiritualitas dapat dicapai melalui laku sufi, dengan zuhud dan menapaki dari tataran lillah, billah, hingga fillah. Puisi-puisi spiritual hanya dapat ditulis oleh penyair yang menjalani laku sufi atau menemukan momentum sufistik.

Demikian rangkuman paparan pakar dari Universitas Jember (UNEJ), Dr. Akhmad Taufiq, M.Pd., dalam Webinar NGONTRAS#13 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-13), dengan tema “Spiritualitas dalam Puisi” yang diselenggarakan oleh Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember), Sabtu (27/8/2022). Selengkapnya